Dunia Indigo dalam Ekspresi Lukisan

15 Aug 2016 Karya Edo Adityo sebagai penyandang disabilitas dan sekaligus indigo mungkin terkesan sangat personal, ekspresif, unik, dan sekaligus magis. Dalam melukis itu pula Edo menggunakan media cat minyak secara tumpang tindih dengan teknik brushstroke kasar dan spontan sekaligus ekspresif. Karya yang demikian mungkin memang menjadi pilihan dan daya ekspresi Edo sebab sebelum melukis ia sering merenung dan berkontemplasi sambil memejamkan mata untuk merenungkan bayang-bayang yang pernah ia saksikan dengan indra keenamnya.

Demikianlah Edo Adityo yang menyuguhkan karyanya dalam pameran tunggal bertema Indigo dan Bayang-bayang Realitas di Tahunmas Art Room mulai 6-16 Agustus 2016. Pameran itu sendiri dibuka oleh Prof. Dr. M. Marianto, MFA. Dan dikuratori oleh Heri Kris dengan penulis-penulis Heri Kris, Drs. Alexandri Lutfi, M.S., dan Weye Haryanto.

Sebagai orang indigo edo bisa setiap saat berinteraksi dengan beberapa makhluk astral yang sering tinggal di beberapa bangunan lama. Salah satu hal yang pernah membuat beberapa orang terkejut adalah ketika Edo membuat sketsa dua figur penari atas tarian dua penari yang menyambut tamu di gedung SMSR Yogya. Sketsa yang dibuat Edo tersebut ternyata tak terlihat kakinya dan ekspresi wajahnya kelihatan dingin. Bagi Edo hal demikian merupakan sesuatu yang biasa saja.

Edo juga mempunyai kebiasaan membakar sketsa yang dia buat untuk persembahan kepada leluhurnya yang sudah meninggal. Salah satunya adalah ayahnya. Tentu ini menjadi sebuah kebiasaan perilaku yang berbeda dengan beberapa pelukis/senirupawan lain. Mungkin hal ini bisa dilihat sebagai naïf sekaligus jujur dan tanpa pretensi yang berlebihan namun di balik itu ada sebuah tujuan spiritual yang dilakukannya yaitu agar apa yang dia perbuat juga bisa dinikmati oleh para leluhurnya.

Sudah cukup banyak karya yang dihasilkan oleh Edo. Sebagai pelukis ekspresionistik ia cukup produktif berkarya dengan ide-ide tentang dunia metafisika dimana objeknya sering tidak kasat mata. Misalnya lukisan yang berjudulPertarungan Malaikat dan Iblis, 180 x 150 cm, akrilik di atas kanvas, 2015 menunjukkan dua sosok figur seperti terselip dalam bentang lukisan abstrak yang tak lain adalah malaikat dan iblis. Hal demikian disebutkan sebagai pertarungan antara yang baik dan buruk.

Selain itu Edo juga menyuguhkan lukisan berjudul Sepak Bola, 140 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2014. Karya ini mungkin terlihat biasa, namun hal ini layak dicermati karena ekspresi yang tertuang di sana terkesan ada rasa marah, dendam, hasrat yang terbalut secara sublim di dalamnya. Sebagai penyandang difabel Edo tidak bisa melakukan itu (sepak bola) secara normal. Yang paling menarik dalam lukisan ini adalah bentuk imajiner para pemain bola di sana yang terkadang memang mirip makhluk astral. Pada sisi inilah letak pergulatan antara sifat indigonya dan bayang-bayang realitas yang dialaminya selama ini.

Edo jelas akan terus berproses dan berkreasi. Untuk itu ia mesti harus mau belajar banyak untuk terus meningkatkan diri dalam berkarya. Tentu perlu untuk terus memperkaya wacana diri dan menghindari stagnasi kreativitas, gagasan, teknik, dan kedalaman makna karya. Sebab orang bisa produktif berkarya namun orang bisa terjebak pada produktivitas yang tanpa makna yang pada akhirnya produknya nyaris mendekati produk mesin: nyaris seragam dalam gagasan, teknik, kedalaman, kreativitas, dan sebagainya.

Naskah dan foto:a.sartono

Seribu Malaikat, 140 x 200 cm, acrylic on canvas, 2016, karya Edo Adityo, difoto: 8 Agustus 2016, foto: a.sartono Butterfly, 205 x 140 cm, acrylic on canvas, 2015, karya Edo Adityo, difoto: 8 Agustus 2016, foto: a.sartono Pertarungan Malaikat dan Iblis, 180 x 150 cm, acrylic on canvas, 2015, karya Edo Adityo, difoto: 8 Agustus 2016, foto: a.sartono Sepakbola, 140 x 90 cm, acrylic on canvas, 2015, karya Edo Adityo, difoto: 8 Agustus 2016, foto: a.sartono Malaikat Bisu, 240 x 125 cm, acrylic on canvas, 2015, karya Edo Adityo, difoto: 8 Agustus 2016, foto: a.sartono SENI RUPA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 31-08-16

    Rujukan untuk Mengen

    Judul            : Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Penulis        ... more »
  • 30-08-16

    “Paket Kemerdekaan”

    Agustus tiba, Agustus pergi. Layaknya pengulangan yang tak akan berhenti, Agustus di Indonesia adalah perayaan yang memiliki “paketnya” sendiri.... more »
  • 30-08-16

    Wilayah Praja Mangku

    Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, tidak hanya terkenal setelah dibangunnya Kompleks Pemakaman Keluarga Suharto, Presiden RI ke-2... more »
  • 29-08-16

    Monolog dan Gerak Pu

    Dua puisi karya Resmiyati, yang dimuat dalam antologi puisi ‘Membelah Bulan’, masing-masing berjudul ‘Katresnan’ dan ‘Sephia 2’ diolah dalam bentuk... more »
  • 29-08-16

    Buku Pelajaran Sejar

    Judul            : Leerboek der Geschiedenis van Nederlandsch Oost-Indie Penulis  ... more »
  • 29-08-16

    Kawasan Panggung Kra

    Panggung Krapyak adalah salah satu bangunan cagar budaya yang berlokasi di Dusun Krapyak, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul... more »
  • 27-08-16

    Bayi Kelahiran Mangs

    Pranatamangsa: memasuki Mangsa Surya III Mangsa Katelu, 25 Agustus sampai dengan 17 September 2016, umur 24 hari. Candrane: Suta Manut ing Bapa,... more »
  • 27-08-16

    Topeng, Tradisi yang

    Topeng, merupakan salah satu koleksi di Museum Tembi Rumah Budaya Yogyakarta. Ada sekitar 15 topeng kuno yang dikumpulkan oleh Bapak Drs P Swantoro,... more »
  • 27-08-16

    Pameran Kriya Besar

    Tanggal 22-28 Agustus 2016 secara khusus Jogja Gallery, di Jl Pekapalan 1, Alun-alun Utara Yogyakarta  menyelenggarakan pameran besar kriya... more »
  • 26-08-16

    Teater Gandrik Penta

    Lakon “Orde Tabung” karya Heru Kesawa Murti akan dipentaskan Teater Gandrik dalam bentuk dramatic reading di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (... more »