Membaca Karya Tegoeh Ranusastra Asmara

23 May 2016 Tegoeh Ranusastra Asmara, yang dikenal sebagai wartawan dan sastrawan dari Yogyakarta memang telah tiada beebrapa hari yang lalu, tetapi karya-karyanya masih terus bisa dibaca. Untuk mengenangnya, Forum Apresiasi Sastra Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta menyelenggarakan acara yang diberi tajuk ‘Tegoeh Ranusastra Asmara Dalam Kenangan Sahabat”. Kamis malam, 19 Mei 2016 di Aula Kampus 2 UAD, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta.

Sahabat Tegoeh, di antaranya Iman Budhi Santosa, Jabrohim, Sutirman Eka Ardana, ketiganya lebih muda beberapa tahun dari Tegoeh menyampaikan pengalaman persahabatan yang selama ini dijalani. Ketiganya hampir sama, melihat Tegoeh sebagai orang yang tidak pernah berhenti berkarya, baik sebagai jurnalis maupun penyair.

“Mas Tegoeh adalah orang yang tekun dalam berkarya dan setia terhadap profesinya,” kata Iman Budhi Santosa.

Sahabat-sahabat lain, yang juga seorang penyair seperti Mustofa W Hasyim, Budi Sarjono, Sigit Sugito, Budhi Wiryawan, Hamdy Salad dan beberapa anak muda lainnya, membacakan puisi karya Tegoeh secara bergantian, yang dimuat di beberapa antologi puisi. Umi Kulsum misalnya, membaca puisi karya Tegoeh yang ada dalam antologi puisi berjudul ‘Parangtritis’, dan Sigit Sugito membaca puisi Tegoeh dalam antologi puisi ‘Jalan Remang Kesaksian’.

Budhi Wiryawan, Hamdy Salad, Budi Sarjono membacakan puisi karya Tegoh yang lain, dan dikumpulkan dalam buku kecil dalam tajuk ‘Teguh Ranusastra Asmara Dalam Kenangan Sahabat’ Selain menulis puisi, Tegoeh juga menulis geguritan (puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa) berjudul ‘Kaos Biru’.

“Saya akan membacakan puisi mas Tegoeh, yang ditulis menggunakan Bahasa Mandarin”, kata Budi Sarjono mengawali sambil berkelakar.

Kehadiran sahabat Tegoeh dengan membacakan puisi-puisi karyanya seperti ‘menghadirkan’ Tegoeh dalam acara sastra. Sebab di manapun ada kegiatan sastra, Tegoeh selalu ada, termasuk ketika teman-teman menyelenggarakan acara sastra di Temanggung, Magelang, Banjarnegara, Tegoeh tidak segan untuk menghadirinya.

Semangat Tegoeh, bukan hanya dalam bersahabat, tetapi dalam berkarya maupun meliput acara, membuat iri pada  sahabat yang lebih muda, termasuk Sutirman Eka Ardhana.

“Sesungguhnya  saya merasa iri pada mas Tegoeh, karena dalam usia yang tak lagi muda, bahkan lebih tua dari saya yang sudah 63 tahun, mas Tegoeh masih bisa aktif kemana-mana untuk menjadi saksi kegiatan sastra di Yogya,” kata Eka Ardhana.

Puisi dan Tegoeh Ranusastra Asmara seperti tidak bisa dipisahkan. Sejak tahun 1968 bersama dengan Umbu Landu Paranggi di Persada Studi Klub Tegoeh sudah mulai berkenalan dengan puisi. Pada waktu itu usia Tegoeh baru 21 tahun.  Sejak saat itu sampai akhir hayatnya puisi tak bisa dipisahkan dari kehidupannya.

Maka, ketika puisi karya Tegoeh dibacakan oleh para penyair yang usianya jauh lebih muda dari Tegoeh. Ia seperti hadir dalam acara untuk mengenangnya. Umi Kulsum, penyair yang usianya jauh lebih muda dari Tegoeh, membacakan satu puisi karyanya yang berjudul ‘Sesaji Makam Kotagede’.

Melalui acara yang diisi dengan membaca puisi karya Tegoeh Ranusastra Asmara, sepertinya kita sedang memberi ‘sesaji’ pada Tegoeh, melalui puisi-puisi karyanya yang dibacakan. Dan membaca puisi karyanya, kita seperti tidak mau kehilangan Tegoeh, yang selalu dekat dengan anak-anak muda dan mendorong anak muda untuk terus berkarya, setidaknya seperti apa yang dirasakan oleh penyair muda Iqbal H.Saputra, yang usianya belum genap 30 tahun.

Tegoeh dan puisi, memang telah berpisah. Tapi puisi karyanya akan terus bisa dibaca dan dikenang.

Ons Untoro

Umi Kulsum sedang membacakan puisi karta Tegoeh Ranusastra Asmara dalam acara ‘Tegoeh Ranusastra Asmara Dalam Kenangan Sahabat, di Aula Kampus UAD, foto: Trisna Bravista Umi Kulsum sedang membacakan puisi karta Tegoeh Ranusastra Asmara dalam acara ‘Tegoeh Ranusastra Asmara Dalam Kenangan Sahabat, di Aula Kampus UAD, foto: Trisna Bravista SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 30-05-16

    Sastra Bunyi dari Ga

    Satu formula perpaduan antara musik dan sastra khususnya puisi dari Gangsadewa disebutnya sebagai Sastra Bunyi. Pertunjukan ini dilakukan Rabu malam... more »
  • 30-05-16

    Karya Sastra Daerah

    Judul            : Anthology of ASEAN Literatures. The Islamic Period in Indonesian Literature... more »
  • 30-05-16

    Sharol dari Singapo

    Tembi Rumah Budaya Bantul Yogyakarta kembali dikunjungi oleh siswa-siswi Sekolah Seni Singapura pada Rabu, 24 Mei 2016. Mereka terdiri dari 16 siswa... more »
  • 28-05-16

    Jainem dan Annisa He

    Jainem adalah nama tokoh dalam kisah cerpen karya Ardi Susanti, berjudul ‘Jainem’ yang terkumpul dalam antologi cerpen ‘Pulang Ke Kotamu’. Annisa... more »
  • 28-05-16

    Lagu Puisi dari Sell

    Selli Kodong, seorang siswi SMA yang baru lulus dan sedang proses mendaftar di perguruan tinggi, memetik gitar sambil mengalunkan dua lagu puisi... more »
  • 28-05-16

    Festival Musik Tembi

    Lokakarya bertajuk “Gaul Bareng Ronggeng Deli: Tradisi Hybrid dari Selat Malaka” membuka penyelenggaraan Festival Musik Tembi 2016 hari kedua.... more »
  • 28-05-16

    Kamis Pon Pekan Ini

    Pranatamangsa: sampai dengan 21 Juni 2016 masih terhitung mangsa Karolas atau musim Keduabelas yang disebut Saddha, umurnya 41 hari. Saat panen... more »
  • 27-05-16

    Macapatan Malam Rabu

    Putaran ke-147 macapatan malam Rabu Pon di Tembi Rumah Budaya pada 17 Mei 2016, masih setia menggelar tikar untuk ‘njagani’ para pecinta macapat yang... more »
  • 27-05-16

    Dangdut Elektonik da

    Sampai saat ini musik dangdut masih menjadi musik yang disukai masyarakat kelas bawah. Konon karena liriknya yang sangat dekat dengan situasi dan... more »
  • 26-05-16

    Nyai Surti Dalam Sas

    Nyai Surti, salah satu judul cerpen dalam antologi cerpen ‘Pulang Ke Kotamu’ karya Ristia Herdiana digarap dalam bentuk drama oleh Kelompok Belajar... more »