Gus Teja Maestro Seruling Melawan Keputusasaan

20 Jul 2016 Namun, di Bali, pemain seruling bukanlah sesuatu yang istimewa. “Dalam orkestra gamelan Bali, seruling hanya di tempatkan ‘di samping,’” ujar Gus Teja di sela konsernya yang berjudul “From Heart to Heaven” di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Sabtu,16 Juli 2016.

Jika bukan karena gairah yang kuat, Gus Teja mungkin sudah lama meninggalkan seruling yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam identitasnya. Ketertarikannya terhadap musik tradisional itu diteruskan dengan masuk ke jurusan Seni Karawitan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali. Ia menempuh pendidikan di institut ini dalam periode 2000-2004.

Di saat menjadi mahasiswa, Gus Teja bermain dalam band yang diakuinya tidak dilakoninya secara serius. “Cuma buat senang-senang saja,” ujarnya. Panggilan untuk bermain seruling membuatnya memutuskan untuk menekuni instrumen tradisional ini secara serius.

Namun, jalan yang dipilihnya tetap “asing” bagi lingkungannya, terutama bagi keluarganya. Setelah bekerja sebagai  pengajar karawitan di sejumlahbanjar (sanggar tradisional di Bali), Gus Teja memutuskan untuk mengatakan kepada keluarganya bahwa ia akan merekam sebuah album dengan seruling sebagai instrumen utama.

Setelah mengumpulkan beberapa komposisi ciptaannya, ia mengajak beberapa temannya semasa kuliah untuk membuat band tradisional yang hingga kini bermain bersamanya. Dengan berbekal uang sebesar Rp25 juta yang dikumpulkan hasil mengajar daribanjarkebanjar, Gus Teja “berjudi” dengan masuk ke studio rekaman.

“Waktu itu keluarga saya tidak setuju, terutama istri saya. (Mereka bilang) ‘kenapa kamu menghabiskan duit buat cita-cita yangnggak jelas?’ Tapi saya yakin ini akan jadi sesuatu,” kenangnya.

Gus Teja tetap merekam album pertama yang diberinya judulRhytm of Paradise.Pada 2009, ia mencetak album perdana ini sebanyak seribu keping CD sesuai jumlah minimal untuk menggandakan sebuah album musik.

Ia sempat frustasi karena masih belum tahu apa yang ia lakukan dengan tumpukan kardus berisi album perdananya di rumahnya. Saat itu, Gus Teja belum punya manajemen profesional.

“Saya bingung ini uang 25 juta (dalam bentuk rekaman) mau saya bawa ke mana. Akhirnya saya kasih ke beberapa teman. Ada yang gratis, ada yang bayar sepuluh ribu, 20 ribu, ada yang bayar 50 ribu,” katanya.

Perjalanan berikutnya adalah menyodorkan rekamannya ke hotel-hotel di Bali. Namun ditolak karena dianggap belum terkenal. Dalam keputusasaan, Gus Teja mendatangi sebuah toko CD di Bali untuk menitip-edarkan albumnya di sana.

“Saat ditanya oleh pemilik toko, ‘berapa kamu jual CD kamu ini?’, saya jawab sekenanya karena saya tidak tahu pasaran, ‘seratus ribu’. Dia bilang akan mencoba menjual CD saya tapi menurut dia harga CD saya terlalu mahal,” kata Gus Teja.

Lambat laun, penjual CD tersebut meminta album Gus Teja karena ternyata banyak permintaan. Sampai tahun 2016, Gus Teja total telah merilis tiga album. Dua album terakhir adalahFlute for Love (2011) danUlah Egar (2015).

Kini keputusasaan Gus Teja mulai memberikan jalan yang “meluncur” bagi kariernya sebagai musisi yang memainkan musik yang tak diterima oleh industri musik arus utama di Indonesia. Tiga album tersebut telah terjual 50 ribucopy. Di Bali, musik Gus Teja diputar di seluruh restoran, spa, hotel, dan beberapa rumah sakit.

Di region Asia, Gus Teja telah bermain di festivalworld music di Penang, Malaysia, pada 2015, juga di festival alat musik tiup tradisional di Gyeongju, Korea Selatan, pada 2012.

Apa yang dicapai oleh Gus Teja saat ini adalah buah dari keberaniannya untuk berinvestasi di dalam musik tanpa memikirkan keuntungan ekonomi. “Ketika karya itu dibuat dengan  hati, orang akan menerimanya dengan hati,” kata Gus Teja.

Naskah dan foto:Ervin Kumbang

PROFIL

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 19-08-16

    Hardi: Sang Presiden

    Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more »
  • 19-08-16

    Wisuda MC Jawa Lanju

    Para wisudawan kursus Panatacara Pamedharsabda MC Basa Jawa di Tembi Rumah Budaya angkatan IX rupanya mempunyai pandangan yang hampir sama. Kesamaan... more »
  • 18-08-16

    Obituari Slamet Riya

    Mestinya, pada  Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang  digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30  di Tembi Rumah Budaya,  Slamet... more »
  • 18-08-16

    Peserta Badan Diklat

    Sebanyak 80 orang SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baik provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Tembi Rumah... more »
  • 16-08-16

    Karyawan Bir Bintang

    Menjelang maghrib hari Kamis 11 Agustus 2016, Tembi Rumah Budaya dikunjungi oleh karyawan PT Bir Bintang Jakarta sejumlah 100 orang. Mereka datang ke... more »
  • 16-08-16

    Suara Malam dan Peso

    Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang akan diselenggarakan Kamis, 18 Agsutus 2016, pukul 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta akan... more »
  • 16-08-16

    Kapak Batu di Pajang

    Senin, 25 Juli 2016 Sunardi (43) warga Dusun Manukan, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY menemukan sebuah benda yang... more »
  • 15-08-16

    Ketika Politik Prakt

    Haruskah kita bersikap jujur di depan sebuah karya seni? Pertanyaan itu muncul dalam diri saya ketika hadir dalam pembukaan pameran tunggal karya-... more »
  • 15-08-16

    Menikmati Semangkuk

    Judul naskahnya ‘Semangkuk Sup Makan Siang  atau Cultuurstelsel’  karya Hedi Santosa yang dimainkan oleh Whani Dproject selama dua hari 10... more »
  • 15-08-16

    Dunia Indigo dalam E

    Karya Edo Adityo sebagai penyandang disabilitas dan sekaligus indigo mungkin terkesan sangat personal, ekspresif, unik, dan sekaligus magis. Dalam... more »