Saat Gamelan Sekaten Ditabuh

26 Jan 2013 / Tag: Berita BUDAYA Berita Budaya

Saat Gamelan Sekaten Ditabuh

Gending sekaten sebagai ekspresi keislaman juga tampak ketika adzan shalat berkumandang. Meskipun satu gending belum selesai dimainkan namun harus diakhiri ketika terdengar adzan shalat. Gending tersebut dianggap selesai. Setelah jeda, dilanjutkan gending lain.

Gending sekaten, Yogyakarta, foto: Barata
Kyai Naga Wilaga di Pagongan Lor bersama penabuh bonang

Tidak seperti gending-gending yang biasanya didengar, siang itu gamelan dipukul dalam tempo yang sangat lamban. Ada jeda yang cukup lama di antara pukulan yang satu dengan pukulan berikutnya. Yang tersisa adalah gema bilah logam yang bergetar usai dipukul dengan keras secara serentak.

Cara memukulnya juga tidak lazim. Pemukul diangkat hingga di atas kepala sebelum diayunkan. Jadi, volume bunyinya memang benar-benar kencang. Apalagi usai dipukul, bilah tidak dijepit dengan jari untuk meredam gema sehingga terjadi resonansi. Disusul tabuhan bonang mengomandani, yang lantas diikuti kembali pukulan terhadap bilah saron, peking dan demung. Pola ini beberapa kali berulang, lantas hentakan bunyi bedug dipukul.

Pola repetitif ini terasa menciptakan atmosfir bunyi yang berkesan magis. Setelah sekitar dua per tiga bagian, barulah saron, peking dan demung dimainkan dengan irama yang mengalir, yang terdengar lebih “melodius”.

Itulah gending ‘Ngajatun’ pathet nem, salah satu dari 18 gending sekaten. Beberapa gending yang dimainkan setelahnya, seperti ‘Atur-atur’ pathet nem dan ‘Salatun’ pathet nem, juga terkesan memiliki pola serupa.

Gending-gending ini dimainkan di pelataran Masjid Gedhe Kauman selama seminggu, yang berakhir pada 23 Januari atau 11 Mulud lalu, sehari sebelum Grebeg Mulud, hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Dua perangkat gamelan dimainkan secara bergantian. Gamelan Kyai Guntur Madu di Pagongan Lor (sebelah utara), dan gamelan Kyai Naga Wilaga di Pagongan Kidul (sebelah selatan). Setiap hari kedua gamelan ini ditabuh dalam tiga sesi, yakni pukul 08.00-12.00, 14.00-16.00 dan 20.00-24.00.

Gending sekaten, Yogyakarta, foto: Barata
Para niyaga Krido Mardowo memainkan gending sekaten

Menurut seorang niyaga, Mas Be Sri Kuncoro, pada sesi pertama Kyai Guntur Madu ditabuh terlebih dahulu karena usianya lebih tua dibanding Kyai Naga Wilaga. Setelah selesai satu gending, giliran Kyai Naga Wilaga ditabuh. Kyai Guntur Madu dibuat pada zaman Sultan Agung (1642), sedangkan Kyai Naga Wilaga dibuat pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (1772).

Karena usianya lebih muda, kata Mas Be, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan agar tingkat nada Kyai Naga Wilaga tidak sama dengan Kyai Guntur Madu sehingga nadanya dibuat lebih rendah satu tingkat.

Niyaga Mas Bekel Srikaloka menambahkan, pertama kali setelah ‘miyos gangsa’ (gamelan dari kraton ditempatkan di masjid), empat gending sekaten wajib dimainkan, yakni ‘Rambu’ pathet lima, ‘Rangkung’ pathet lima, ‘Andhong-andhong’ pathet lima, dan ‘Lunggadhung Pel’ pathet lima. Baik Kyai Guntur Madu maupun Kyai Naga Wilaga bergantian memperdengarkan empat gending ini, yang masing-masing berdurasi sekitar 30 menit. Selanjutnya, gending yang dimainkan di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul justru tidak boleh sama pada setiap sesi.

Ketentuan lainnya, lanjut Mas Bekel, sesi siang yang dimulai pukul 14 hanya khusus memperdengarkan gending sekaten. Namun pada sesi pagi yang dimulai pukul 8 diperbolehkan memainkan gending lain di luar gending sekaten, biasanya pelog barang pathet 7. Persamaannya, semua gending ini berlaras pelog.

Yang dimaksud dengan gending sekaten adalah 18 gending ciptaan Wali Sanga, sebagai media syiar Islam, meski tanpa vokal dan lirik. Kloplah dikaitkan dengan makna sekaten sendiri, yang berasal dari kata ‘syahadatain’. Judul gendingnya, menurut niyaga Mas Kliwon Patromanggolo, mencerminkan syiar tersebut. Misalnya, ‘Rambu’ merupakan simbol pengingat atau penjaga, ‘Rangkung’ artinya merangkul, ‘Andhong-andhong’ mengisyaratkan agar segera dilakukan, dan ‘Lunggadhung Pel’ simbol dari mengikat. Begitu pula gending-gending lain, seperti ‘Salatun’ (shalat), ‘Ngajatun’ (mengajak), dan ‘Kinasih’ (kasih).

Gending sekaten, Yogyakarta, foto: Barata
Pemukul siap diayunkan, membuat resonansi

Gending sekaten sebagai ekspresi keislaman juga tampak ketika adzan shalat berkumandang. Menurut niyaga Mas Supriyanto, meskipun satu gending belum selesai dimainkan namun harus diakhiri ketika terdengar adzan shalat. Gending tersebut dianggap selesai. Setelah jeda, dilanjutkan gending lain.

Dulu, tambah Mas Supriyanto, gamelan sekaten ditabuh selama 24 jam. Hanya berhenti ketika adzan yang lalu diikuti shalat. Namun pada masa Hamengku Buwono VIII, aturan waktunya diubah lebih longgar seperti sekarang.

Begitulah, kami mengobrol santai seusai gending dimainkan. Bilah yang, menurut Mas Bekel, sebuahnya seberat satu kati (600 gram) tak lagi bergetar. Begitu juga pecon bonang, kempul, dan kempyang diam bergeming di ruangan Pagongan Lor itu. Pemukul bilah, yang bentuknya mirip palu, tergeletak. Awalnya, kata mereka, semua pemukul ini terbuat dari tanduk kerbau, namun karena mahal kini sebagian dibuat dari kayu.

Gending di Pagongan Kidul selesai ditabuh. Para niyaga dari Krido Mardowo bagian karawitan ini pun bersiap-siap menabuh kembali. Gending yang atraktif bernuansa magis ini, bersama resonansinya, kembali akan terdengar, siap membuat pendengar yang “nyambung” jadi terpekur. Tidak berlebihan ketika para niyaga ini menegaskan bahwa spirit gending sekaten adalah doa, dan ritme gending sekaten adalah dzikir.

Gending sekaten, Yogyakarta, foto: Barata
Pengunjung serius mendengarkan

Barata

Berita BUDAYA Source Link: Jakarta

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 30-06-16

    Potret Wajah yang Ga

    Menyaksikan lukisan potret karya Jabbar Muhammad segera muncul sensasi aneh. Wajah perempuan yang dilukis Jabbar tidak terfokus pada satu wajah yang... more »
  • 30-06-16

    Ki Sri Kawan Mendala

    Menurut pranatamangsa sampai dengan 21 Juni 2016 adalah mangsa Karolas, yang disebut Saddha, candranya : ‘Tirta sah saka sasana,’ yang berarti air... more »
  • 30-06-16

    Serat Tunggul Jati,

    Dalam masyarakat Jawa ada pandangan hidup yang berbunyi: jika ingin menuju kesempurnaan hidup maka harus bisa menyelaraskan kebutuhan jasmani dan... more »
  • 29-06-16

    Dongeng Binatang unt

    Judul             : Maleisch Leesboek. Jilid 2 Penulis      ... more »
  • 29-06-16

    Inspirasi untuk Kaum

    Ini bukan bukubaru, cetakan pertama sudah diterbitkan Januari 2002, jadi pada cetakan ketiga April 2016, buku ini telah memasuki usia 14 tahun. Namun... more »
  • 29-06-16

    Memory of My Life da

    Ada hal yang selama ini menjadi masalah bagi hidup Pupuk Daru Purnomo, yakni perihal rasa sakit dan denging terus-menerus di rongga telinganya, serta... more »
  • 28-06-16

    Adit Mewujudkan Suat

    Belajar dan berlatih dengan tekun, itulah yang dilakukan Praditya Ratna Murdianta atau yang akrab disapa Adit. Ia mulai belajar gitar akustik sejak... more »
  • 28-06-16

    Antara Menjaga Ident

    Satu buku yang diberi judul ‘Mbongkar Yogya’ diterbitkan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM kerjasama dengan penerbit Gambang, ditulis oleh sejumlah... more »
  • 28-06-16

    Denmas Bekel 28 Juni

    Denmas Bekel 28 Juni 2016 more »
  • 27-06-16

    Puisi, Musik dan Lag

    Para penampil di Sastra Bulan Purnama edisi ke-57, yang diselenggarakan Senin, 20 Juni 2016 di Amphytheater Tembi Rumah Budaya tidak hanya membaca... more »