Sensasi Pecel Kecambah Lamtoro ala Pacitan

13 Sep 2014 Rasa bumbu pecel itu mungkin bisa dikatakan tidak terlalu jauh berbeda dengan pecel pada umumnya. Namun rasa kecambah lamtoro, tempe benguk goreng yang panas, dan thiwulnya benar-benar unik. Kecambah lamtoro terasa sedikit lebih liat daripada kecambah kacang ijo.

Kecambah lamtoro, thiwul, dan bahan lain dalam menu Pecel Kecambah Lamtoro ala Pacitan, difoto: Minggu, 7 September 2014, foto: a.sartono
Kecambah lamtoro, thiwul, dan bahan lain dalam 
menu Pecel Kecambah Lamtoro ala Pacitan

Mungkin banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa apa yang dipandang sebagai sederhana bisa menjadi sesuatu yang menarik, memikat, dan mendatangkan keuntungan finansial maupun nonfinansial. Salah satu contohnya adalah kecambah lamtoro, petai cina, atau kemlandingan.

Kecambah atau biji lamtoro di berbagai wilayah tidak pernah dilirik sebagai sesuatu yang bermanfaat atau bahkan diabaikan. Namun di wilayah seperti Gunung Kidul, Wonogiri, dan Pacitan, biji lamtoro mendapatkan perhatian yang memadai.

Kecambah lamtoro di wilayah itu biasa dimanfaatkan sebagai bahan sayur. Salah satunya adalah bahan untuk membuat pecel. Ternyata pecel kecambah lamtoro merupakan salah satu jenis hidangan yang sering dicari banyak orang. Bukan hanya oleh orang-orang setempat, namun juga oleh orang-orang di luar wilayah itu. Karena, sayur tersebut membuat penasaran bagi orang yang belum pernah merasakannya.

Pecel kecambah lamtoro dengan karbohidrat berupa thiwul tawar (bukan nasi atau lontong) ternyata menjadikannya perpaduan hidangan yang unik sekalipun tampilan atau presentasinya bersahaja.  Tembi yang mencoba menikmatinya ketika berkunjung ke kompleks wisata Goa Gong, Pacitan, pada Minggu, 7 September 2014 merasakan keunikannya. Selain kecambah dan thiwul pengganti nasi tersebut tidak terlalu umum di berbagai daerah lain, tempe benguk yang baru saja diangkat dari minyak panas sebagai kelengkapan bersantap pecel kecambah lamtoro adalah tambahan unik lain dalam bersantap menu tersebut.

Salah satu karyawan Tembi Rumah Budaya menikmati Pecel Kecambah Lamtoro ala Pacitan, difoto: Minggu, 7 September 2014, foto: a.sartono
Salah satu karyawan Tembi Rumah Budaya 
menikmati Pecel Kecambah Lamtoro ala Pacitan

Rasa bumbu pecel itu mungkin bisa dikatakan tidak terlalu jauh berbeda dengan pecel pada umumnya. Namun rasa kecambah lamtoro, tempe benguk goreng yang panas, dan thiwulnya benar-benar unik. Kecambah lamtoro terasa sedikit lebih liat daripada kecambah kacang ijo. Thiwul tawar yang “mawur” (butirannya seperti bertabur) terasa demikian tawar. Rasa ini berbeda dengan nasi yang cenderung lunak dan terkesan ada rasa manisnya. Sedangkan tempe benguk goreng yang panas yang apabila dikunyah cenderung “kemlethuk” (berbunyi kletuk-kletuk) karena sedikit kenyal, memberikan sentuhan sensasi lain pada seporsi menu pecel ala Pacitan ini.

Pincuk yang menjadi pengganti piring untuk menyajikan pecel juga terkesan unik. Lebih-lebih lagi pincuk di tempat ini sering dibuat dari daun jati atau perpaduan daun jati dan daun pisang. Presentasi oleh pincuk yang demikian itu tentu memberi kesan berbeda dengan presentasi yang menggunakan piring ceper lebar yang sering digunakan dalam restoran mewah. Sajian macam inilah yang sering mengundang rasa penasaran dan kangen orang-orang terutama orang yang berada di luar wilayah tersebut.

Tampilan sepincuk Pecel Kecambah Lamtoro, difoto: Minggu, 7 September 2014, foto: a.sartono
Tampilan sepincuk Pecel Kecambah Lamtoro

Komoditas pecel kecambah lamtoro beserta tiwul ala Pacitan yang dijual Rp 5.000 per porsi ini sejauh pengamatan  Tembi ternyata laris manis. Sajian yang mungkin dianggap sederhana, bersahaja, dan terkesan sebagai makanan kaum kelas bawah ini ternyata mampu mendongkrak ekonomi warga setempat yang berjualan di seputaran kompleks Gua Gong.

Mungkin kita selama ini cenderung mengabaikan apa yang tampaknya sederhana dan tidak mengundang “wah”. Namun di balik itu ternyata hal yang sederhana itu bisa memberikan arti yang besar bagi orang-orang yang mengelolanya dengan sepenuh hati, sepenuh cinta.

Makan yuk ..!

A. Sartono

KULINER

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 15-06-15

    Wahyu Tri Manggala M

    Sesaat sebelum pagelaran pakeliran wayang purwa di Tembi Rumah Budaya pada 29 Mei 2015, Ki Parjaya S Sn seorang ‘widyaiswara’ pendidik, pengajar,... more »
  • 15-06-15

    Pementasan Dalang An

    Setiap tahun Sanggar Wirabudaya Bantul selalu menyelenggarakan festival dalang anak dan remaja. Namun untuk kali ini nama festival yang bagi banyak... more »
  • 15-06-15

    Para Juara Festival

    Hari terakhir Festival Upacara Adat antarkecamatan se-Kabupaten Bantul dilaksanakan hari Rabu, 10 Juni 2015 dengan lokasi di Lapangan Pleret, Pleret... more »
  • 12-06-15

    Pendok Blewah dalam

    Pendok blewah atau sering pula disebut dengan pendok blewehan merupakan salah satu jenis dari bentuk pendok. Dinamakan pendok blewah karena pendok... more »
  • 12-06-15

    Kegigihan Kolonel Su

    Judul                  : Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan... more »
  • 12-06-15

    Kesuksesan Orang Sel

    Pada nomor 93 di dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna dituliskan mengenai “Jayane Manungsa’’ yang artinya kesuksesan seseorang. Menurut kitab... more »
  • 12-06-15

    Kemeriahan Festival

     Secara marathon, Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyelenggarakan Festival Upacara Adat mulai tanggal 8-10... more »
  • 12-06-15

    Empat Penyair Tampil

    Malam Sastra Giri Lawu ke-2, yang akan diselenggarakan Sabtu, 13 Juni 2015, pukul 19.30 di InDie_coloGy Cafe, Jalan Candrakirana 14, Sagan,... more »
  • 12-06-15

    Pasinaon Basa Jawa K

    Ngecakake Tembung ”Arep” ing Undhak-Usuking Basa Jawa   Undha-Usuk Basa Jawi ing Wekdal Samenika   Ing ngadhap menika tuladha trap-... more »
  • 12-06-15

    Santap Ta’jil Lezat

    Selama bulan Ramadan, Warung Dhahar Pulo Segaran Tembi Rumah Budaya menawarkan sajian baru di antaranya Paket Ta’jil Lele Ngambang. Paket ini sudah... more »