Menikmati Gatot Tiwul Legendaris dari Jetis

Author:kombi / Date:20-12-2013 / Tag: Makan Yuk / Makan yuk ..!

Menikmati Gatot Tiwul Legendaris dari Jetis

Dibandingkan dengan gatot tiwul lain, produksi Bu Hadi memang terasa beda. Rasa manisnya cukup kuat meskipun tidak berlebihan. Aroma gatot dan tiwulnya demikian khas (asli), tanpa tambahan pewangi makanan, juga tanpa pengawet dan gula sintetis.

Bu Hadi dan dagangan legendarisnya Gatot, Tiwul, dan Cenil, difoto: Selasa, 10 Desember 2013, foto: a.sartono
Bu Hadi dan dagangan legendarisnya gatot, tiwul, dan cenil

Gatot dan thiwul merupakan salah satu makanan khas dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dulu pada kisaran dekade 1980-an ke belakang, dua jenis makanan ini sering dicap sebagai makanan kelas bawah. Artinya, hanya dikonsumsi oleh anggota masyarakat golongan ekonomi lemah. Pada zaman itu banyak orang merasa turun gengsi sosial ekonominya jika mengonsumsi dua jenis makanan ini.

Kini jenis makanan ini telah menembus strata sosial tersebut. Gatot tiwul ternyata menarik minat banyak orang tidak saja dari golongan masyarakat berkantong cekak, namun juga orang-orang yang berkelebihan. Salah satu contohnya adalah Gatot Thiwul Bu Hadi di Jetisharjo atau lebih dikenal juga sebagai Gatot Tiwul Depan Gereja Jetis, utara Tugu Yogyakarta. Bahkan dapat dikatakan bahwa Gatot Tiwul Bu Hadi ini merupakan Gatot Tiwul legendaris di Yogyakarta.

Bu Hadi yang dikenal sebagai Bu Hadi Gatot (70) menuturkan kepada Tembi bahwa ia mulai jualan gatot, tiwul, dan cenil (cetil) sejak tahun 1975. Waktu itu ia masih menjadi asisten dari ibunya yang bernama Warno Diharjo yang sering disebut sebagai Mbah Warno Gatot alias Ngadikem.

Tampilan Gatot dan Tiwul Bu Hadi yang siap disantap, difoto: Selasa, 10 Desember 2013, foto: a.sartono
Tampilan gatot dan tiwul Bu Hadi yang siap disantap

Mbah Warno Gatot sendiri telah merintis usaha pergatotannya sejak kisaran 1950-an. Jadi, Gatot Bu Hadi di depan Gereja Jetis ini memang sudah ada sejak sangat lama. Pantas gatotnya melegenda di Yogyakarta.

Dengan usaha gatot tiwulnya ini Bu Hadi mampu mengentaskan tujuh orang anaknya. Kini ia bahkan bisa ikut menyenangkan hati cucunya yang berjumlah 13 orang dengan uang dari hasil jualan gatot tiwulnya. Makanya jangan memandang remeh gatot dan tiwul!

Apa kunci kesuksesan usaha Gatot Tiwul Bu Hadi ini ? Ia menuturkan rahasianya kepada Tembi, yakni harus dimasak dengan “tanak” (sangat matang). Gatot tiwul yang dimasak kurang tanak tidak akan menghasilkan rasa yang maknyus. Untuk memasak sampai pada taraf tanak tentu diperlukan waktu dan bahan bakar yang cukup banyak. Untuk itu Bu Hadi tidak ambil pusing, yang penting adalah hasil maksimal dan pelanggan terpuaskan.

Dibandingkan dengan gatot tiwul lain, produksi Bu Hadi memang terasa beda. Rasa manisnya cukup kuat meskipun tidak berlebihan. Aroma gatot dan tiwulnya demikian khas (asli), tanpa tambahan pewangi makanan, juga tanpa pengawet dan gula sintetis. Demikian pun kelapanya diparut langsung ditempat sehingga tidak “bau angin”. Ada lagi resep yang lain: dibungkus dengan daun pisang. Perlu diketahui bahwa daun pisang memberikan efek aroma natural pada setiap masakan yang dibungkusnya.

Tampilan Gatot dan Tiwul Bu Hadi yang siap disantap, difoto: Selasa, 10 Desember 2013, foto: a.sartono
Tampilan gatot dan tiwul Bu Hadi yang siap disantap

Pemasakan sampai taraf tanah membuat gatot tidak keras tetapi kenyil-kenyil dan lekat. Demikian pun dengan tiwulnya. Tekstur kasar yang khas dunia pertiwulan tetap terjaga namun butir-butir tiwulnya tetap lunak dan kenyil-kenyil ketika dikunyah. Rasa manis keduanya akan terasa lain dengan hadirnya parutan kelapa yang telah dicampur sedikit garam.

Bu Hadi menggelar dagangannya setiap hari di depan Gereja St Albertus Magnus Jetisharjo. Sekalipun tampilan warungnya terkesan seadanya dan hanya menempel di emperan toko, namun hal itu justru memberikan kesan kenaturalan dan kejadulannya. Kesan tempo dulu dari jenis makanan yang dijualnya justru kuat.

Harga makanan jualan Bu Hadi ini boleh dikata “merakyat”. Untuk satu “penak” (bungkus) kecil gatot-tiwul Rp 2.500, dan ukuran besar Rp 5.000.

Bu Hadi mengaku jika musim penghujan cukup sulit mendapatkan gaplek sebagai bahan baku gatot dan tiwul. Tidak jarang ia harus memesannya di wilayah Gunung Kidul atau Kulon Progo.

Gatot Tiwul Bu Hadi dalam kemasan aslinya: daun pisang, difoto: Selasa, 10 Desember 2013, foto: a.sartono
Gatot Tiwul Bu Hadi dalam kemasan aslinya: daun pisang

Bu Hadi mulai membuka warungnya sekitar pukul 17.00, dan biasanya dagangannya habis pada kisaran pukul 20.00 WIB. Jika Anda mengunjungi warung Gatot Tiwul Bu Hadi harap memiliki kesabaran tinggi. Maklum pelanggannya banyak, termasuk yang datang ke tempat itu dengan mengendarai mobil mewah.

Makan yuk ..!

Naskah & foto:A.Sartono

Makan Yuk Source Link: Jakarta

Latest News

  • 21-07-14

    Jatayu, Garuda yang

    Dengan sisa-sisa keperkasaannya Jatayu berhasil merebut Dewi Sinta dari tangan Rahwana. Namun yang membuat hatinya kecewa adalah kata-kata ketus dari... more »
  • 21-07-14

    Masjid Keraton Banyu

    Sumber setempat juga menyebutkan bahwa Masjid Keraton Banyusumurup mula-mula didirikan untuk melengkapi keberadaan makam Pangeran Pekik yang terletak... more »
  • 21-07-14

    Kegembiraan Mahasisw

    Sekelompok mahasiswa-mahasiswi dari The National University of Singapore yang menginap di Tembi mencoba bermain gamelan dalam arahan para pemandu... more »
  • 21-07-14

    Diplomasi Kebudayaan

    Judul : Diplomasi Kebudayaan. Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang. Studi kasus Indonesia  Penulis : Tulus Warsito, Wahyuni... more »
  • 19-07-14

    Orang Wuku Medhangku

    Orang wuku Medhangkungan pandai bicara, mantap pendiriannya, penuh syukur, besar rasa kebersamaannya. Ia juga hemat dan pandai mengatur ekonomi.... more »
  • 19-07-14

    I Gusti Ngurah Rai P

    Pada pertempuran 20 November 1946 itu, akhirnya I Gusti Ngurah Rai bersama dengan teman-temannya yang berjumlah 1.372 orang, gugur di medan perang... more »
  • 19-07-14

    KURSUS MACAPAT DURMA

    Pada bagian ini, serat Centhini mengisahkan kehidupan warok di daerah sekitar Ponorogo. Yaitu kebiasaan para warok memamerkan kesaktian di hadapan... more »
  • 19-07-14

    Richard Irwin Meyer,

    Sejak memutuskan untuk menjadi seniman Indonesia, ia meninggalkan posisi sebelumnya sebagai art historian. Hal tersebut dilakukan karena ia sudah... more »
  • 18-07-14

    Rendang Jawa Ala Maj

    Resep masakan tradisional Jawa di majalah ini ditulis oleh Pujirah dalam rubrik “Jagading Wanita”. Isi Majalah Kajawen tersebut sekitar 90 % ditulis... more »
  • 18-07-14

    Misteri Perempuan An

    Cara dan konsep visualiasi karya-karya Angga ini menunjukkan kepekaannya terhadap perempuan. Ia menyadari kemisteriusan perempuan, dan mencoba... more »