Gudeg pertama di Wijilan, Bu Slamet

12 Sep 2015

Soal rasa, gudeg Bu Slamet sangat layak dipuji. Kental dan ‘medok’. Mulai dari gudeg, areh, krecek sampai telur pindang dan ayamnya, semuanya memikat lidah.

Gudeg adalah kuliner khas Yogya, sampai-sampai Yogya dijuluki Kota Gudeg. Sentra gudeg di Yogya adalah di kawasan Wijilan. Ini fakta mudah. Nah pertanyaannya, siapakah pedagang gudeg pertama di Wijilan? Jawabannya, bisa diduga dari papan nama salah satu warung gudeg, “Gudeg Wijilan Bu Slamet Sejak 1946”. Ya, Bu Slamet memang perintis warung gudeg di Wijilan.

Bu Slamet, yang bernama asli Suti Samtinah, dikaruniai umur panjang, kini berusia 92 tahun. Suaminya, Sumo Wihardjo yang akrab dipanggil pak Slamet, telah meninggal. Bu Slamet kini masih tinggal di bagian belakang warung. Sehari-hari warung ini ditangani anaknya nomor empat, Bu Subariyah Sudarminto (58 tahun). Bu Subariyah dibantu anaknya, serta kakak dan iparnya.

Bagaimana kisah perkembangan warung Bu Slamet dan sentra gudeg Wijilan? Awalnya, Bu Subariyah menuturkan, “Ada Ndoro dari Keraton yang meminta ibu saya membuat gudeg. Gudegnya yang murah agar terjangkau warga di sekitar sini.”

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1946. Bu Slamet pun menyanggupi. Ia lantas berjualan gudeg di pinggir jalan, di seberang warungnya sekarang. Kelengkapan gudegnya hanya tahu dan tempe, tanpa ayam dan telur. Pada saat itu telur masih sulit diperoleh, ayam mahal. Selain gudeg, Bu Slamet juga berjualan jenang sumsum. Pembeli dari kalangan menengah ke atas mulai berdatangan. Lauk pun ditambah ayam dan telur yang ternyata banyak diminati. Buka sejak subuh, dagangannya laris, dan biasanya sudah habis pada pukul 10.00.

“Waktu itu membungkusnya masih pakai daun pisang yang direnteng,” kata Bu Subariyah. Jadi satu demi satu bungkus disatukan dengan menggunakan batang lidi.

Meskipun laris tapi Bu Slamet masih berjualan di pinggir jalan. Berpindah-pindah, dari seberang warungnya sekarang, ke sisi utaranya, lalu ke sisi baratnya. Kalau hujan, air menggenangi kakinya.

Pada tahun 1956, kata Bu Subariyah, Yu Djum mulai berdagang di Wijilan. Kemudian ada warung gudeg bernama Campur Sari di seberang Plengkung Wijilan. Jadi ada tiga pedagang gudeg di wilayah ini untuk waktu yang lama. Namun warung yang berada di seberang Plengkung, lanjut Subariyah, kemudian tutup, dan berubah menjadi toko.

Pada dekade 1970-an, Bu Slamet berjualan di emper rumah yang sekarang menjadi miliknya. Saat itu rumah tersebut milik seorang pengusaha sepatu, yang kemudian dibeli Penjahit Pantes dari Demangan. Pada dekade 1980an, rumah ini dibeli Bu Slamet, dan dijadikan warung. Jadi 30 tahun lebih Bu Slamet berjualan di pinggir jalan sebelum akhirnya berhasil membuka warungnya sekarang. Separuh rumah yang masih menjadi milik pengusaha sepatu kemudian dibeli Bu Slamet sekitar 3-4 tahun yang lalu.

Sejak 2000-an, menurut Bu Subariyah, Wijilan berkembang pesat. Warung-warung gudeg bermunculan. Dimulai dari Bu Lies, lalu Bu Widodo, dan lainnya. Anak bungsu Bu Slamet juga membuka warung gudeg sendiri, bernama Bu Hj. Rini.

Warung gudeg Bu Slamet tetap tampil dengan kesederhanaannya. Pesan dari Pak Slamet tetap jadi pegangan, yakni berdagang dengan wajar, tidak memakai penglaris, tidak mengiming-imingi bonus bagi pengemudi yang membawa tamu ke warungnya.

Toh rasa tetaplah yang terpenting. Dan soal rasa ini gudeg Bu Slamet sangat layak dipuji. Kental dan ‘medok’. Mulai dari gudeg, areh, krecek sampai telur pindang dan ayamnya, semuanya memikat lidah.

Salah satu penyebabnya mungkin karena dimasak dalam dua tahap, dengan kayu bakar terlebih dahulu, kemudian dengan arang. Selain itu, menurut Bu Subariyah, cara menempatkan bahan dan merendam bumbu juga berefek pada rasa. Perihal bahannya sendiri, warung ini sudah mempunyai pemasok tetap yang dipercaya. Ayamnya selalu ayam jago dan ayam kampung. Kepala ayam, bagian yang biasanya dienggani, kata Bu Subariyah, malah jadi favorit pelanggan.

Selain resep dari Bu Slamet, salah satu kelebihan warung ini adalah rasanya yang ajeg, stabil. Bu Subariyah menuturkan, sejumlah pembelinya dari luar kota, yang dulu saat kuliah kos di Wijilan dan menjadi pelanggan gudeg Bu Slamet, mengatakan bahwa rasanya dari dulu hingga sekarang tetap sama. Salah satu faktornya, kata Bu Subariyah, orang yang menangani di dapur selalu sama. Misalnya, kakak iparnya fokus mengurus gudeg dan krecek, kakaknya fokus mengurus areh dan ayam.

Harga di warung ini tergolong standar. Gudeg dengan tahu dan telur Rp 10.000, dengan telur dan ayam suwir Rp 15.000, dengan paha bawah Rp 23.000, dan dengan paha atas Rp 30.000.

Bu Slamet sendiri sudah tidak banyak ikut campur, meski menurut Bu Subariyah, penglihatan dan pendengaran Bu Slamet masih bagus. Beliau kini lebih senang momong cicit. Cucunya 17 orang, dan cicitnya 10 orang. Anaknya sendiri lima orang, yang secara ekonomi berkecukupan. Sedangkan Bu Subariyah sudah dikaruniai 3 anak dan 3 cucu.

Di balik warung bertuliskan ‘sejak 1946’ ini tergelar keuletan dan ketekunan panjang, sekaligus jejak Wijilan sebagai sentra gudeg.

Naskah dan foto: Barata

Gudeg, bu Slamet, Wijilan Gudeg, bu Slamet, Wijilan Gudeg, bu Slamet, Wijilan Gudeg, bu Slamet, Wijilan KULINER

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 19-03-16

    Napi Perempuan Memba

    Kita sudah terbiasa melihat penyair membaca puisi. Tapi, rasanya, kita jarang, atau mungkin belum pernah, melihat napi –narapidana--, lebih-lebih... more »
  • 19-03-16

    Selasa Legi Hari Tid

    Pranatamangsa masuk mangsa Kasanga (9), umurnya 25 hari, mulai 1 s/d 25 Maret, curah hujan mulai berkurang. Masa birahi anjing dan sejenisnya.... more »
  • 19-03-16

    Wisrawa (2): Dewi Su

    Begawan Wisrawa yang kemudian menduduki tahta, karena menjadi suami Dewi Lokawati sang pewaris tahta, sangat menyadari posisinya. Bahwa dirinya... more »
  • 19-03-16

    Pameran Temporer Yog

    Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia selama kurang lebih 4 tahun (4 Januari 1946—27 Desember 1949). Selama itu pula,... more »
  • 18-03-16

    Warna-Warni Seribu T

    Ini memang bukan topeng tradisi, yang “pakemnya” sudah dikenali, misalnya topeng Cirebon dan seterusnya. Tapi merupakan topeng kreasi karya murid-... more »
  • 18-03-16

    Lakon Dewa Ruci Dipe

    Tidak kurang-kurang Kurawa memperdaya Pandawa agar mereka mati. Namun usahanya tidak pernah berhasil. Hingga akhirnya, Kurawa mempunyai cara untuk... more »
  • 18-03-16

    Lambang Kotapraja di

    Berikut ini adalah lambang dari sejumlah kotapraja di Hindia Belanda, yaitu Batavia, Soerabaja, Semarang, Makassar, Medan, Padang, Amboina, Manado,... more »
  • 17-03-16

    Tumenga Sepa Tumungk

    Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti mendongak (melihat ke atas) hambar melihat ke bawah sepi. Pepatah ini ingin menggambarkan keadaan... more »
  • 17-03-16

    Pawai Ogoh-Ogoh Yogy

    Dalam rangka memperingati Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1938, serangkaian acara dilangsungkan. Bagi umat Hindu terdapat serangkaian perayaan Nyepi... more »
  • 17-03-16

    Membedah Semarang Za

    Judul             : Semarang Tempo Dulu. Teori Desain Kawasan Bersejarah Penulis  ... more »