MAKAM GAGAK HANDOKO DI PASAR GODEAN

15 Dec 2011 MAKAM GAGAK HANDOKO DI PASAR GODEANKeletakan

Makam atau kuburan Mbah Jembrak terletak di sisi kiri pintu masuk Pasar Godean, Dusun Godean, Kalurahan Sidoagung, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Lokasi makam ini tepat berada di pojok sisi utara dan timur dari perempatan Godean.

Kondisi Fisik

Makam Mbah Jembrak yang terletak di Pasar Godean ini hanya terdiri atas dua buah batu nisan. Satu batu nisan digunakan untuk Kyai Jembrak. Sedangkan batuMAKAM GAGAK HANDOKO DI PASAR GODEAN nisan yang lain digunakan untuk menandai makam Nyai Jembrak yang tidak lain adalah istri dari Kyai Jembrak.

Nisan Kyai Jembrak dan Nyai Jembrak berukuran sama. Panjang nisan adalah 180 Cm, lebar 40 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat 60 Cm. Nisan dibuat dari beton. Kedua nisan tersebut berada dalam sebuah cungkup yang menjadi satu dengan dinding pagar depan kompleks Pasar Godean. Luas cungkup makam sekitar 3 m x 3 m. Kedua nisan Mbah Jembrak ini diberi tirai putih yang disangkutkan pada kerangka kayu berbentuk persegi. Lantai makam Mbah Jembrak telah dikeramik dengan keramik berwarna putih. Ukruan keramik adalah 30 Cm x 30 Cm.

Kecuali Makam Mbah Jembrak, di kompleks Pasar Godean ini juga terdapat Sumur Kuno yang letaknya berada di tengah-belakang Pasar Godean. Menurut sumber setempat Sumur Kuno ini kemungkinan dibuat oleh Mbah Jembrak. Namun versi lain menyatakan bahwa Sumur Kuno itu kemungkinan telah ada sebelum Mbah Jembrak tinggal di Godean. Sumur Kuno ini memiliki kedalaman sekitar 67-meter dan diameter sumur sekitar 1,5 meter.

Latar Belakang

Sampai sekarang tidak ada yang tahu secara persis sMAKAM GAGAK HANDOKO DI PASAR GODEANiapa sesungguhnya Mbah Jembrak itu. Tidak ada yang tahu pula mengapa ia dinamakan sebagai Mbah Jembrak. Istilah mbah jelas mengacu pada pengertian kakek atau nenek. Sedangkan istilah jembrak mungkin mengacu pada pengertian serba tidak beraturan. Suka Handaya yang menjadi tenaga keamanan Pasar Godean dan sering mengantarkan peziarah ke makam Mbah Jembrak mengatakan bahwa menurut informasi yang ia terima dari para pinisepuh di seputar Godean, Mbah Jembrak memang berpenampilan sederhana.

Kumis dan cambang Mbah Jembrak tumbuh dengan lebat dan dibiarkan tumbuh liar. Demikian pula dengan alis dan rambut di kepalanya, semuanya tumbuh dengan lebat dan dibiarkan begitu saja. Oleh karena penampilannya yang demikian itulah kemungkinan ia kemudian disebut sebagai Mbah Jembrak. Istilah jembrak sendiri mungkin mengacu pada makna rembyak-rembyak ’terurai tidak karuan’. Kecuali rambutnya yang rembyak-rembyak serta kumis, cambang, dan alis yang dibiarkan tumbuh liar, Mbah Jembrak juga dikenal suka mengenakan baju berwarna gelap. Sedangkan celana yang sering dikenakannya adalah celana komprang dan berwarna gelap pula.

Versi lain menyatakan bahwa Mbah Jembrak dulunya merupakan salah satu senapati dari Kerajaan Mataram. Namun Mataram manakah yang dimaksud, apakah Mataram zaman Senapati (Kotagede), Mataram Pleret, atau Mataram yang lain seperti Surakarta atau Yogyakarta. Hal ini juga tidak terlalu jelas. Ketika menjadi senapati di kerajaan tersebut Mbah Jembrak belum lagi dikenal sebagai Mbah Jembrak, namun dikenal dengan nama Gagak Handoko. Ketika menjadi senapati ini ia memiliki MAKAM GAGAK HANDOKO DI PASAR GODEANkawan-kawan setia seprofesi dan seperjuangan, di antaranya Gagak Pramono dan Gagak Seta. Diceritakan bahwa Gagak Handoko ini turut berperan besar dalam penyerbuan Mataram ke Batavia (1628/1629). Jika cerita ini memang benar, maka kemungkinan besa Gagak Handoko hidup di Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Usai dari peperangan dengan Belanda di Batavia tokoh Gagak Handoko ini kembali pulang ke Mataram dan menjadi kawula biasa yang hidup di desa (Godean) ini hingga meninggalnya.

Versi lainnya lagi mengatakan bahwa Gagak Handoko dulunya merupakan salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro yang memerangi Belanda. Usai Perang Diponegoro tokoh Gagak Handoko pun namur ’menyamar’ menjadi kawula atau rakyat biasa agar tidak diuber-uber Belanda dan antek-anteknya. Penampilan yang sederhana dengan rambut rembyak-rembyak mungkin manjadi salah satu cara agar Belanda tidak bisa lagi mengenali dirinya sebagai salah satu pengikut Pangeran Diponegoro.

a.sartono

> Source Link: Jakarta > >

Baca Juga

>

Artikel Terbaru

>
  • 22-08-16

    Bulan Bundar Mewarna

    Bulan bundar, langit cerah menjadi dekorasi alami Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang diselenggarakan Kamis, 18 Agustus 2016 di Amphiteater Tembi... more »
  • 22-08-16

    Sega Abang Pethak Sp

    Bulan Agustus di Indonesia identik dengan peringatan hari kemerdekaan. Untuk itu secara khusus Warung Dhahar (WD) Pulo Segaran Tembi Rumah Budaya... more »
  • 22-08-16

    Pupuk Daru Purnomo d

    Ikatan emosional yang kuat antara anak-ibu bisa dikatakan tidak terbantahkan. Demikian pun yang terjadi dengan perupa Pupuk Daru Purnomo yang lahir... more »
  • 20-08-16

    Mangut Beyong di War

    Ada cukup banyak kuliner khas, unik, yang sesungguhnya berangkat dari menu-menu tradisional Jawa. Salah satunya adalah mangut ikan salem (sejenis... more »
  • 20-08-16

    Kisah Kemuliaan Hati

    Judul         : Sita. Sedjarah dan Pengorbanan serta Nilainja dalam Ramayana Penulis       : Imam Supardi... more »
  • 20-08-16

    Ada Tiga Hari Baik P

    Pranatamangsa: mulai 25 Agustus memasuki Mangsa Surya III Mangsa Katelu, usia 24 hari, sampai dengan 17 September 2016. Candrane: Suta Manut ing Bapa... more »
  • 20-08-16

    Macapatan di Museum

    Sri Sultan Hamengkubuwana II adalah salah satu raja di Yogyakarta yang disegani oleh Belanda di kala itu.  Ia mewarisi sikap ayahnya, yakni... more »
  • 19-08-16

    Hardi: Sang Presiden

    Sekitar pertengahan 2000-an, saya pernah melihat sebuah gambar yang terpampang di tangga rumah seorang sastrawan yang kebetulan saya kenal secara... more »
  • 19-08-16

    Wisuda MC Jawa Lanju

    Para wisudawan kursus Panatacara Pamedharsabda MC Basa Jawa di Tembi Rumah Budaya angkatan IX rupanya mempunyai pandangan yang hampir sama. Kesamaan... more »
  • 18-08-16

    Obituari Slamet Riya

    Mestinya, pada  Sastra Bulan Purnama edisi ke-59, yang  digelar 18 Agustus 2016, pukul 19.30  di Tembi Rumah Budaya,  Slamet... more »
> Tembi Rumah Sejarah dan Budaya , Hak Cipta Dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Tembi adalah Portal Berita Budaya Indonesia