'Kalau Kau Rindu Aku' Di Sastra Bulan Purnama

Penyair empat kota, dua laki dan dua perempuan. Dari generasi yang berbeda. Masing-masing tampil membaca puisi dengan gaya yang berbeda.

Ary Nurdiana, penyair dari Ponorogo sedang membacakan puisi karyanya di Pendapa Tembi Rumah Budaya dalam acara Sastra Bulan Purnama 22, Foto: Ons Untoro
Ary Nurdiana

Puisi berjudul ‘Kalau kau rindu aku’ karya Dharmadi dibacakan oleh penyairnya dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-22 Senin malam, 24 Juni 2013 di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Dharmadi, yang kini tinggal di Jakarta, sore sekitar pukul 17.00 sudah tiba di Tembi untuk tampil dalam acara ‘Penyair Empat Kota Membaca Sajak’.

Dharmadi membaca puisi diiringi backsound musik dari musik puisi karyanya yang sudah direkam dalam bentuk CD. Ada beberapa lagu puisi dalam CD itu.

“Sekaligus numpang promo, CD lagu puisi saya ini dijual dengan harga Rp 25.000,” kata Dharmadi setelah membaca satu puisi karyanya.

Sebelum Dharmadi tampil, penyair yang tinggal di Ponorogo, Ary Nurdiana tampil membacakan puisi karyanya, tetapi sebelumnya dia meminta suaminya untuk membacakan puisi karyanya.

“Saya minta suami saya, yang dua tahun tidak bisa melihat, dan sekarang sudah kembali bisa melihat, untuk membacakan puisi saya yang berjudul ‘Orgasme Di Ujung Joran’,” kata Ary Nurdiana.

Dharmadi penyair dari Jakarta tampil dalam acara Sastra Bulan Purnama 22 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Ons Untoro
Dharmadi

‘Badhut’ merupakan satu judul puisi yang dibacakan oleh Ary Nurdiana. Diawali dengan nada seperti sedang nembang, Ary Nurdiana menghayati penuh puisi yang diciptakan. Suaranya lantang, dan gerak tangannya merentang seolah hendak menggapai tiang pendapa. Selendang yang ia kenakan, disibakkan seperti menyerupai sayap.

“Badhut, kemarilah sayang”, suara Ary seperti sedang merayu ketika pada kata ‘sayang’, dan ketika sampai pada kata “poles bibirmu dengan gincu” Ary semakin tampil ganjen, laiknya seorang pemudi.

Ary Nurdiana seperti hendak ‘menghidupkan’ kata. Bukan hanya dengan ucapan kata itu dihidupkan, melainkan juga dengan ekspresi wajah, gerak tubuh dan asesoris yang dia kenakan seolah menjadi pelengkap Ary Nurdiana menghidup kata dalam puisi.

Dedet Setiadi, penyair dari Magelang, yang tampil membacakan puisi berjudul ‘Negeri Serigala’ seolah ia seperti ‘mengaum’ akan menelan negara. Dedet seperti ‘marah’ terhadap negara yang ‘tidak mempedulikan bau’. Padahal rakyatnya telah menghirup bau korupsi yang semakin tengik, tetapi negara tak ambil peduli. Dedet seperti meluapkan amarah. Tangannya menuding:

“inilah perjalanan puisi
yang tersesat dalam sebuah negeri
yang tak lagi memiliki mimpi” seru Dedet Setiadi

Dedet Setiadi penyair dari Magelang tampil membaca puisi karyanya dalam acara Sastra Bulan Purnama 22 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Ons Untoro
Dedet Setiadi

Penyair yang paling muda, lahir di Jombang dan tinggal di Surabaya, Liestyo Ambarwati Khohar, membacakan puisi berjudul ‘Sekar Trotoar II’. Raut muka Ambar, demikan panggilannya, agak serius, ia mengekspresikan kata dalam puisinya. Suaranya tegas, sehingga jelas sekali upaya Ambar memberi denyut puisinya.

Penyair empat kota, dua laki dan dua perempuan. Dari generasi yang berbeda. Masing-masing tampil membaca puisi dengan gaya yang berbeda. Selain keempat penyair, secara spontan, penyair lainnya, seperti Dhenok Kristianti, penyair asal Yogyakarta, yang sekarang tinggal di Bali, menyempatkan hadir dan membaca puisi karya Ary Nurdiana.

Selain Dhenok, ikut membacakan puisi aktor Bengkel Teater dan penggubah lagu puisi Untung Basuki juga membacakan puisi karya dari salah satu dari 4 penyair. Penyair Krishna Miharja tak ketinggalan ikut membaca puisi, juga penyair sekaligus pemain film, Pritt Timothy. Film terbarunya adalah ‘Sang Kiai’. Ia membacakan puisi karya Ary Nurdiana.

Dua penyair dari Jawa Timur, Ary Nurdiana dan Liestyo Ambarwati Khohar, tampil duet membacakan puisi berjudul ‘Kerlip Rindu Di Matamu’ karya Ary Nurdiana.

Puisi Dharmadi merupakan puisi paling pendek-pendek, yang dulu dikenal sebagai puisi mungil. Kita kutipkan salah satu puisi Dharmadi yang berjudul ‘kalau kau rindu aku’

Liestyo Ambarwati Khohar, penyair dari Surabaya membacakan puisi karyanya dalam acara Sastra Bulan Purnama 22 di Tembi Rumah Budaya, foto: Ons Untoro
Liestyo Ambarwati Khohar

Kalau kau rindu aku

kalau aku tak lagi ada
kau rindu mencariku
bukalah pintu hatiku

masuklah;
aku abadi di situ

2011

Naskah & foto:Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta