Wisrawa (4): Sastrajendra Wejangan Sepanjang Hidup

09 May 2016 Usaha Batara Guru untuk menggagalkan wejangan Sastrajendra baik melalui diri Wisrawa maupun melalui pribadi Sukesi belum berhasil. Jika pun mau dicoba lagi untuk ‘manjing’ dan mempengaruhi jiwa salah satu dari keduanya, Batara Guru tidak yakin akan keberhasilannya. Karena setelah kejadian itu, Wisrawa dan Sukesi semakin menyadari  bahwa ilmu Sastrajendra adalah ilmu suci dan keramat, yang memiliki daya kekuatan adikodrati yang sangat besar. Oleh karenanya mereka sepakat untuk meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat ketahanan batin agar tidak tergoda lagi dan mampu meneruskan penjabaran ilmu gaib Sastrajendra sampai dengan selesai.

Maka dengan gairah baru Wisrawa melanjutkan penjabarannya. Dengan konsentrasi tinggi, Dewi Sukesi mendengarkan serta meresapkan, setahap demi setahap ilmu gaib yang dibeberkan Begawan Wisrawa. Diawali dari kata  Sastrajendra yang bermula dari Stri - sakti dan mantra. Stri, yang kemudian menjadi estri atau wanita. Di dalam kewanitaannya itulah  daya kekuatan serta sorot kecermelangan dewa dipancarkan. Seorang estri yang demikian itu disebut ‘sakti’ devi yang bersinar dan cemerlang. Seperti hakikat seorang ibu, dengan kesuciannya serta kecemerlangannya, ia memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya.

 Dengan kekuatan mantra Sang Pencipta, rahim seorang ibu akan menjadi asal-usul segala sesuatu yaitu kelahiran dan kembalinya segala sesuatu ke dalam rahim Ibu Pertiwi, yaitu kematian. Di dalam rahim ibu, tidak ada sesuatu pun yang tidak suci. Ia akan hidup dalam Kemaharahiman Sang Pencipta. Demikian pula saat kembalinya kepada rahim Ibu Pertiwi, semuanya dikembalikan dalam keadaan suci.

Bebarengan dengan pendarasan mantra tentang Kemaharahiman Sang Pencipta yang kuasa mewadahi serta mensucikan segala makhluk ciptaan, keajaiban pun terjadi. Paras raksasa yang melekat pada diri Prabu Sumali lebur seketika dan menjelma menjadi manusia yang gagah berwibawa. Inilah perstiwa yang sangat dinanti-nanti. Telah lama Prabu Sumali mempersiapkan batinnya dengan menjalani laku tobat, agar dapat masuk dan kemudian disucikan oleh kemaharahiman-Nya,  melalui ilmu Sastrajendra. Hal tersebut dijalani Prabu Sumali, karena dirinya mendapat ‘wisik’ bisikan gaib yang diyakini kebenarannya, bahwa Sastrajendra adalah ilmu ‘pangruwating diyu’.  

Namun bersamaan dengan diruwatnya pribadi diyu/raksasa pada diri Prabu Sumali,  Bambang Prestha mengalami kejadian yang berbalikan. Ia yang semula berparas ksatria tampan berubah menjadi raksasa. Jeritan kesedihan pun memenuhi Taman Argosoka. Bambang Prestha menangis seperti seorang anak kecil, sembari menyebut nama kedua orangtuanya.

Prabu Sumali terkesiap. Ia tidak menyangka bahwa raksasa muda yang menangis di tengah taman itu adalah  Bambang Prestha anaknya.

“Adhuh Ngger anakku, mengapa jadi begini. Apa yang engkau lakukan pada tengah malam di taman tertutup ini.”

Bambang Prestha memandang wajah orangtuanya. Wajah yang menerima cahaya lampu minyak tersebut, menampakkan bahwa Prabu Sumali ayahnya, telah berubah menjadi seorang ksatria yang berwibawa.

“Ramanda Prabu.”  

Kedua bapak dan anak itu pun saling berdekapan.. 

Menyaksikan peristiwa itu Batara Guru cemas. Penjabaran ilmu larangan dewa ini harus segera dihentikan. Namun ia sendiri tidak kuasa menggagalkannya. Maka strategi pun dirubah. Ia kemudian memanggil  saktinya atau istrinya yaitu Dewi Uma dan diperintahkan  untuk manjing ke dalam jiwa Sukesi. Sedangkan Batara Guru sendiri manjing ke diri Wisrawa untuk kedua kalinya.

Ketika  Wisrawa membuka tabir bahwa dirinya adalah jelmaan dari Vaisravana seorang dewa yang cemerlang maka kemudian Sukesi pun membaca mantra bahwa dirinya adalah seorang dewi yang akan memancarkan kecermelangan Vaisravana. Detik-detik itulah yang dipilih Batara Guru dan Dewi Uma untuk menggagalkan wejangan Sastrajendra. Masing-masing mencoba merusak konsentrasi yang dibangun Wisrawa dan Sukesi. Dengan nafsunya Batara Guru memakai pribadi Wisrawa untuk menyetubuhi saktinya atau istrinya yaitu Dewi Uma yang berada di pribadi Sukesi.

Sebelumnya, nafsu yang sama juga pernah keluar dan jatuh di lautan dan lahirlah Batara Kala. Kini nafsu itu telah diteteskan kepada gadis belia yang cantik jelita Sukesi namanya. Bersamaan masuknya Batara Guru ke tubuh Wisrawa dan Dewi Uma ke tubuh Sukesi, penjabaran Sastrajendra pun berhenti.  Wisrawa memandang Sukesi bukan lagi sebagai calon menantunya, tetapi istrinya yang akan memancarkan sorotnya nan cemerlang. Demikian pula Sukesi, tidak lagi memandang Wisrawa sebagai gurunya atau calon mertuanya, melainkan sebagai seorang Dewa yang akan masuk ke dalam rahimnya untuk memancarkan sorotnya. 

Sebentar kemudian semuanya menjadi gelap. Dalam gelap itu mereka merasakan rahasia gaib Sastrajendra yang sedang berproses pada diri mereka berdua. Maka kemudian dari proses tersebut lahirlah tiga anak sekaligus, dua laki-laki dan satu perempuan yaitu: Dasamuka, Kumbokarno dan Sarpakenaka.

Anak siapakah sesungguhnya ketiganya itu? anak Wisrawa dan Sukesikah? atau anak Batara Guru dan Dewi Uma?

Dengan lahirnya ketiga anak tersebut Batara Guru dan Dewi Uma meninggalkan Wisrawa dan Sukesi sebagai suami istri. Walaupun tujuan semula Wisrawa melamarkan anaknya, tetapi Sang Hyang Tunggal telah menjadikannya mereka suami istri. Wisrawa yang adalah perwujudan dari dewa yang cemerlang memancarkan kecemerlangannya di dalam istrinya Dewi Sukesi.

Sepeninggal Batara Guru dan Dewi Uma, pasangan Wisrawa dan Sukesi mengisi hari-harinya dengan pertobatan baru. Dari laku tobat itulah kemudian lahir anak keempat yang diberi nama Gunawan Wibisana. Empat anak yang lahir dari pasangan Wisrawa - Sukesi merupakan perwujudan dari keempat nafsu kehendak manusia. Yaitu nafsu amarah, dalam pribadi Dasamuka, nafsu aluamah dalam pribadi Kumbokarno, nafsu supiyah dalam pribadi Sarpakenaka dan kemudian disusul lahirnya nafsu mudmainah dalam pribadi Gunawan Wibisana.

Wejangan ilmu gaib Sastrajendra pun berlanjut sampai dengan waktu yang tak terbatas. Karena sesungguhnya ilmu gaib yang tersimpan dalam ajaran Sastrajendra adalah sebuah proses mengharmonisasikan keempat nafsu kehendak  yang bersemayam dalam setiap pribadi manusia. Seperti halnya pada setiap rahim, tak terkecuali rahim Sukesi yang adalah perwujudan Kemaharahim-Nya yang dapat melahirkan kebaikan serta menyucikan keburukan.

Herjaka HS 

Batara Guru dan Dewi Uma sepakat untuk memasuki jiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi lukisan herjaka 2001 EDUKASI

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 11-05-16

    Buku Pelajaran Menar

    Java Instituut adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berdiri di zaman penjajahan Belanda. Lembaga ini tidak hanya mendirikan Museum Sonobudoyo di... more »
  • 11-05-16

    Membayangkan Yogyaka

    Komunitas Mahasiswa Teknik Perencanaan Kewilayahan Kota, Fakultas Teknik UGM. menyelenggarakan acara yang dinamakan ‘Festagama 2016 Green City Dalam... more »
  • 10-05-16

    Tegoeh Ranusastra As

    Ketika pertama kali Sastra Bulan Purnama digelar di  Tembi Rumah Budaya Oktober 2011, yang menampilkan sejumlah penyair membaca puisi, pada... more »
  • 10-05-16

    Napi LP Wirogunan Be

    Sambil duduk lesehan di tikar, para narapidana di LP Wirogunan, mendengarkan Iman Budhi Santosa, penyair senior Yogyakarta, menyampaikan workshop... more »
  • 10-05-16

    Di Jakarta Namanya K

    Wedang tahu di Yogyakarta dikenal juga dengan nama tahok di Solo. Sedangkan untuk Surabaya menamai jenis makanan ini dengan nama tahua sedangkan... more »
  • 09-05-16

    Bikin Sesaji Supaya

    Judul            : Sesaji Raja Suya Penulis         ... more »
  • 09-05-16

    Wisrawa (4): Sastraj

    Usaha Batara Guru untuk menggagalkan wejangan Sastrajendra baik melalui diri Wisrawa maupun melalui pribadi Sukesi belum berhasil. Jika pun mau... more »
  • 09-05-16

    Sendang Mangunan Dip

    Sendang Mangunan berada di Dusun Mangunan, Kelurahan Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan... more »
  • 07-05-16

    Jumat Pon Jangan Per

    Pranatamangsa: Mangsa Kasebelas atau disebut Desta berakhir pada 11 Mei 2016. Selanjutnya mulai 12 Mei sampai dengan 21 Juni 2016 masuk Mangsa... more »
  • 07-05-16

    Kritik Sosial Teater

    Teater Gadjah Mada Angkatan 2015, Senin malam, 2 Mei 2016 mementaskan lakon Ndog yang merupakan adaptasi dari naskah monolog Putu Wijaya yang... more »