Renungan Sejarah di Museum TNI AD

16 Feb 2016 Yogyakarta mempunyai banyak museum yang menguatkan keberadaannya sebagai kota sejarah dan budaya. Salah satu peran museum adalah menjembatani masa lalu dan masa kini, terutama dalam perkembangan suatu bangsa. Kesinambungan ini penting terutama pada zaman globalisasi yang serba instan ini. Dengan satu persatu mendatangi museum yang ada kita bisa menyusun mozaik-mozaik sejarah dan budaya sehingga sedikit demi sedikit terbentuk gambaran tentang perjalanan bangsa ini.    Salah satu kekayaan museum di Yogyakarta berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa. Antara lain peranan tentara, baik Angkatan Darat (Museum Dharma Wiratama), Angkatan Laut (Museum Bahari), maupun Angkatan Udara (Museum Dirgantara), termasuk juga misalnya Museum Perjuangan, Museum Sandi, Museum Monumen Jogja Kembali, dan Museum Benteng Vredeburg. Tak kalah pentingnya adalah Museum Diponegoro dan Museum Jenderal Soedirman, yang menyimpan peninggalan kedua tokoh pejuang ini.   Museum bisa dikatakan sebagai media penyampai pesan melalui koleksi dan informasinya. Museum Tentara Nasional Angkatan Darat (TNI AD) Dharma Wiratama tidak sebatas melakukan edukasi melalui koleksi-koleksinya tetapi juga melakukan edukasi melalui hajatan berupa renungan bersama pada 3 Februari 2016. Museum ini mengundang 100 anak yatim, sejumlah kelompok pengajian, satuan-satuan TNI dan Kepolisian, serta museum-museum di Yogyakarta.    Hajatan bertajuk “Renungan Sejarah Perjuangan Bangsa” ini terasa pas di tengah makin maraknya aksi-aksi yang menolak legitimasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rasanya semakin berani saja aksi-aksi yang mengusung primordialisme, khususnya agama, yang berpotensi memecah-belah bangsa ini.    Setelah dibuka oleh Kepala Dinas Sejarah TNI AD  Brigjen TNI Hadi Kusnan,  pakar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Suhartono Wiryopranoto dan pemimpin Pondok Pesantren Ora Aji Gus Miftah menyampaikan renungannya.   Suhartono memaparkan tahapan perjalanan bangsa Indonesia terkait pembentukan identitas bangsa. Sebagai titik sentralnya adalah integrasi nasional. Tanpa integrasi, kata Suhartono, perjuangan bangsa belum memuaskan.    Guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM ini membagi 11 tahapan integrasi bangsa Indonesia, dimulai dari integrasi lokal pada abad V-IX pada masa kerajaan-kerajaan kuno. Kemudian tahapan integrasi regional pada abad XI-XVI yang memunculkan kerajaan-kerajaan Islam sebagai pusat perdagangan, seperti Kerajaan Malaka, Aceh, Banten, Mataram, Makassar, dan Ternate. Persoalan perdagangan ini lantas meluas dalam konteks kompetisi hegemoni yang melibatkan Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dan memunculkan fenomena seminegara serta menimbulkan resistensi lokal.    Tahapan berikutnya, lanjut Suhartono, adalah resistensi terorganisasi yang melahirkan elite baru melalui organisasi pergerakan Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, serta organisasi sosial agama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, kemudian organisasi politik Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia Raya, dan lainnya. Yang menarik adalah dua tahapan berikutnya. Tahapan integrasi nasional (yang terbayangkan), yakni Sumpah Pemuda pada tahun 1928, dengan ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kemudian realitas integrasi nasional  yang sesungguhnya merupakan peran besar pemuda, yang lantas memunculkan laskar, Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).   Masalah berikutnya, kata Suhartono, adalah pasang surut nasionalisme dalam NKRI yang mengalami ancaman faksionalisme/segmentarisme, regionalisme/separatisme, dan globalisme. Dalam hal ini kearifan lokal, Pancasila dan Revolusi Mental perlu terus ditanamkan melalui pendidikan agama dan keluarga, pendidikan moral dan Pancasila, serta koordinasi negara, pemuda, dan masyarakat. Suhartono juga mengingatkan agar jangan meninggalkan sejarah karena merupakan kombinasi pengalaman masa lalu dan kebaikan masa depan.   Sejalan dengan itu, ustadz Gus Miftah lebih banyak menyoroti pemahaman keislaman terkait persoalan kebangsaan. Ia mengingatkan bahwa potensi terbesar disintegrasi dan hancurnya bangsa ini justru di wilayah teologi. Sikap mudah menghakimi, seperti menuding salah, kafir dan bidah, dilancarkan oleh sebagian tokoh dan kelompok yang dengan mudahnya berkembang biak di sini. “Begitu beratnya kita menghargai orang lain. Jangankan dengan agama lain, seagama sendiri pun susah,” kata Gus Miftah dengan nada prihatin.    Cara menyelamatkan bangsa ini, kata Gus Miftah, adalah dengan menjaga kerukunan.  Yang penting adalah manfaat hidupmu, tanpa perlu orang tahu agamamu, katanya. Ia mengutip kata-kata sejuk dari Habib Lutfi dari Pekalongan, “Kalaulah kita tidak punya alasan untuk menghormati agama lain, jadikan alasan bahwa mereka makhluk ciptaan Tuhan. Itu bisa menjadi alasan kita untuk menghormati orang lain.”   Gus Miftah juga mengingatkan bahwa di awal kemerdekaan negara Indonesia lebih maju karena pemimpin-pemimpin bangsa sadar dengan agama yang dianutnya. Ia juga menegaskan banyak tokoh kebangsaan yang berasal dari kaum santri. Misalnya, Suwardi Suryaningrat, murid mengaji Kyai Suleman Zainuddin dari Kalasan. Suwardi kemudian terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ada pula Habib Husein Al-Muthahar, pencipta lagu Syukur dan 17 Agustus Tahun 45. Yang lain adalah Muhammad Hatta, Jenderal Soedirman dan Pangeran Diponegoro. Pada pemaparannya, Gus Miftah mengungkapkan nilai-nilai penting warisan Soedirman dan Diponegoro yang sangat relevan pada saat ini. Ia juga mengisahkan bagaimana Presiden Soekarno melepaskan semua atribut kepresidenannya di depan makam Nabi Muhammad, lantas ‘laku ndodok’ yang membuat terkesima Raja Arab Saudi.   Di akhir renungannya, Gus Miftah menyampaikan pentingnya warisan semangat para pahlawan untuk terus dikembangkan. Acara  ini sekaligus memajang patung enam mantan presiden Indonesia, sejak Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Patung-patung setingggi kurang lebih 2,4 meter dari bahan perunggu ini merupakan karya Yusman, pematung yang berdomisili di Yogyakarta.   Gedung Dharma Wiratama sendiri bersejarah karena pernah menjadi Markas Tinggi TKR dan tempat penunjukan Soedirman sebagai Panglima Besar.    Naskah dan foto:Barata   Museum TNI Angkatan Darat, Dharma Wiratama, sejarah perjuangan bangsa, Suhartono Wirnyopranoto, Gus Miftah Museum TNI Angkatan Darat, Dharma Wiratama, sejarah perjuangan bangsa, Suhartono Wirnyopranoto, Gus Miftah Museum TNI Angkatan Darat, Dharma Wiratama, sejarah perjuangan bangsa, Suhartono Wirnyopranoto, Gus Miftah Museum TNI Angkatan Darat, Dharma Wiratama, sejarah perjuangan bangsa, Suhartono Wirnyopranoto, Gus Miftah Museum TNI Angkatan Darat, Dharma Wiratama, sejarah perjuangan bangsa, Suhartono Wirnyopranoto, Gus Miftah Berita BUDAYA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 12-03-16

    Launching Antologi P

    Antologi puisi rupa berjudul ‘Anakku Sayang Ibu Pulang’, karya dari beberapa penyair, yang pernah tampil di Sastra Bulan Purnama, Sabtu malam, 5... more »
  • 12-03-16

    Kamis Legi Hari Baik

    Pranatamangsa masuk mangsa Kasanga (9), umurnya 25 hari, mulai 1 s/d 25 Maret, curah hujan mulai berkurang. Masa birahi anjing dan sejenisnya.... more »
  • 12-03-16

    Bubur Koyor Srikandi

    Koyor atau urat sapi mungkin tidak sepopuler bagian tubuh sapi lainnya. Tapi bagi sebagian orang, koyor justru tampil sebagai primadona. Koyor... more »
  • 12-03-16

    FIB UGM Gelar Festiv

    Tari Reog Ponorogo yang dipentaskan di depan hall lantai dasar Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, pada Selasa, 1 Maret 2016, mengundang perhatian... more »
  • 11-03-16

    Jupri Abdullah Pamer

    Setelah menggelar karyanya di ruang pamer Tembi Rumah Budaya, Jupri Abdullah memajang karyanya di Museum Negeri Banten, Jl Brigjen K.H. Syama’un No.... more »
  • 11-03-16

    Pesan Kebersamaan Ki

    Kirab atau pawai senantiasa menjadi acara yang dinanti-nanti masyarakat. Pada setiap kirab selalu saja di sekitar rute yang dilaluinya disesaki... more »
  • 11-03-16

    Atraksi Barongsai di

    Barongsai kini menjadi pertunjukan ‘live’yang mudah ditonton. Pada masa Orde Baru, seni tradisi ini hanya bisa dinikmati lewat film. Misalnya yang... more »
  • 11-03-16

    Denmas Bekel 11 Mare

    Denmas Bekel 11 Maret 2016 more »
  • 10-03-16

    Nana Ernawati, Penya

    Namanya Nana Ernawati, biasa dipanggil Nana. Anak-anak yang lebih muda sering memanggilnya Bu Nana. Penyair era tahun 1980-an, rasanya kenal dengan... more »
  • 10-03-16

    Wisrawa (1): Berada

    Anak lelaki bernama Wisrawa tersebut lahir, tumbuh dan menjadi besar di pertapaan. Maklum saja karena ia anak seorang Begawan pinunjul bernama... more »