Apri Menggali Tradisi dan Menyampaikan Secara Kontemporer

Author:editorTembi / Date:27-09-2014 / Apri Susanto menggali nilai pisang dalam tradisi Jawa, memaknainya kembali, dan memvisualkannya secara kontemporer, dengan tajuk ‘Menembus Batas’. Apri adalah peserta program artis residen (artist in residence) Tembi Rumah Budaya ke-14.

Pameran seni rupa, keramik, Artist in Residence, artis residen, Tembi Rumah Budaya, Menembus Batas, Apri Susanto, foto: A. Sartono
Suasana pembukaan pameran

Bagi umumnya orang, pisang mungkin senantiasa disikapi secara biasa. Daunnya digunakan sebagai pembungkus, jantungnya disayur, buahnya dijadikan pencuci mulut seusai makan atau dijadikan pisang goreng, pelepahnya dibentuk jadi senapan mainan, batangnya ditancapkan gapit wayang kulit, dan sebagainya. Namun pisang juga dipakai dalam ritual tradisional Jawa, misalnya sebagai sanggan dan bleketepe pada acara pernikahan beradat Jawa.

Hal inilah yang menarik perhatian Apri Susanto. Ia menggali nilai pisang dalam tradisi Jawa, memaknainya kembali, dan memvisualkannya secara kontemporer. Dengan tajuk ‘Menembus Batas’, Apri memajang 12 karya dalam pameran tunggalnya di  Tembi Rumah Budaya yang berlangsung pada 29 Agustus – 21 September 2014.

Pameran seni rupa, keramik, Artist in Residence, artis residen, Tembi Rumah Budaya, Menembus Batas, Apri Susanto, foto: A. Sartono
’Petualangan Tanpa Batas’ dengan pedal sepeda yang 
digerakkan generator. Mengajak berpikir.

Sepuluh karyanya bermatra tiga dimensi karena latar pendidikannya sebagai mahasiswa Program Kriya ISI Yogyakarta. Meski ia mengambil minat khusus keramik di kampusnya, namun ia juga menggarap media-media lain, mulai dari resin, kaca, logam hingga kayu. Sedangkan dua karya lainnya berupa lukisan akrilik berukuran 250 cm x 300 cm.

Sebagai orang Jawa yang lahir di Kulonprogo dan kuliah di Yogyakarta, Apri cukup akrab dengan pisang. Pohon pisang terlihat di mana-mana. Begitu pula bubur atau makanan lain yang dibungkus daun pisang, bahkan daun pisang sebagai alas sajen masih kerap ia lihat. Tidak heran jika penafsiran Apri pada dasarnya masih dalam koridor yang ada selama ini. Namun ia menajamkan unsur-unsur semantiknya sehingga penuturannya terkesan lebih individual.

Misalnya, dalam karya ‘Selaras’, ia memajang tiga buah daun pisang yang berderet secara simetris. Pada masing-masing daun tertulis aksara-aksara yang eksis hingga saat ini, yakni aksara Latin, Jawa dan Arab. Daun beraksara Latin diapit di tengah, serta dikaitkan ikatan segel. Ketiga karya berbahan fiber glass ini masing-masing digantung dengan rantai berkarat.

Apri memang tidak melangkah lebih jauh, misalnya sebagai hibrida budaya berupa kata-kata serapan yang saling mengambil di antara ketiganya. Bahasa Indonesia, Jawa dan Arab, termasuk Arab Melayu misalnya. Agaknya ia lebih memilih memosisikan ketiganya sebagai “indigenous” yang tetap bertahan sebagai akar dalam perubahan zaman. Ketiganya masing-masing tergantung pada rantai berkarat seperti terkait dengan zaman yang terus berkembang dan menua.

Pameran seni rupa, keramik, Artist in Residence, artis residen, Tembi Rumah Budaya, Menembus Batas, Apri Susanto, foto: A. Sartono
’Memaknai Kehidupan’, refleksi atas 
kehidupan pada masa lalu.

Toh sebagai anak muda, ia merefleksikan semangat pembaruan dan perubahan. Daun pisang lain, yang dipajang tepat di depan pintu masuk galeri, juga digantung dengan rantai berkarat. Namun ada kancing besi yang terlepas, yang bisa mengesankan aksen fashionable atau semangat memberontak terhadap “pakem”. Karya berjudul ‘Generasi Baru’ ini mencuatkan sebuah tunas. Padahal kita tahu tunas tidak tumbuh di daun. “Apa yang awalnya sepertinya tidak mungkin, pada akhirnya bisa jadi mungkin,” kata Apri.

Bagi Apri, daun pisang yang sering dipakai sebagai alas makanan mengandung makna filosofi penting. Fondasi, dasar atau alas, menurutnya, sering tidak dilihat dan diperhatikan. Padahal fungsinya sangat penting, dan pada kenyataannya tidak bisa diabaikan.

Tidak semua karyanya berupa daun. Ada pula potongan kecil batang pisang yang ditumbuhi banyak telinga. Ujungnya yang berundak-undak seperti candi sebagaimana halnya tekstur batang pisang tergantung pada tali senar yang terkait pada sebuah pipa. Menurut Apri, mendengarkan sangat penting bagi orang Jawa. Dan semuanya mengalir secara alami, tidak bisa direkayasa dan dibuat-buat, mengalir saja seperti air yang mengalir melalui pipa. Karenanya Apri memberi judul karya ini, ‘Sensitif’.

Selain karya tiga dimensi, Apri juga memajang dua lukisan besar. Lukisan pertama, ‘Rebutan Pangan’, dipajang di sisi kiri pintu masuk. Lukisan bernuansa gelap ini memperlihatkan perseteruan seekor anjing dan seorang laki-laki dalam memperebutkan makanan. Memancarkan ekspresi kebanalan dan keangkaraan. Sedangkan lukisan di dekat pintu keluar mengajak kita melakukan instropeksi diri. Lukisan berjudul ‘Di Ujung Kisah’ yang berukuran150 cm x 300 cm ini dipasangi 3 buah cermin kecil seperti mengajak kita bercermin. Tidak seperti lukisan pertama, ada gradasi warna gelap dan cerah masing-masing pada setengah kanvas seperti tirai hitam yang diangkat separuh. Ajakan refleksi yang juga mencerminkan pepatah Jawa tentang ‘eling’ (ingat, mawas diri).

Pameran seni rupa, keramik, Artist in Residence, artis residen, Tembi Rumah Budaya, Menembus Batas, Apri Susanto, foto: A. Sartono
Apri Susanto menjelaskan karya ‘Generasi Baru’ 
kepada dua siswi SMAN I Temanggung

Apri adalah peserta program artis residen (artist in residence)  Tembi Rumah Budaya ke-14. Selama proses berkarya selama kurang lebih tiga bulan, Apri tampak tekun, serius dan cenderung perfek. Sebagian elemennya direkayasa dengan teliti. Ia tekun menggosok kayu dengan menggunakan pelepah pisang selama dua hari, sejak pagi hingga sore.

Begitu pula pipa logam pada karya ‘Sensitif’ serta rantai pada karya ‘Selaras’ dan ‘Generasi Baru’ sengaja dibuatnya berkarat. Dibeli dalam keadaan ‘kinclong’, logam besi itu diberi Hidrogen Chloride (HCl) dan dibakar dengan burner. HCl dikenal memiliki kemampuan korosif yang tinggi. Hasilnya sebuah besi berkarat dengan bercak kebiruan pada beberapa ruang.

Agaknya inilah pameran seni rupa yang secara teknis bergaya kontemporer namun isinya kental dengan nilai tradisi Jawa.

Pameran yuk ..!

Barata 
Foto: ASartono

Bale Rupa Pameran

Latest News

  • 15-05-15

    Publikasi dan Promos

    Bagaimana caranya menarik masyarakat mau berkunjung ke museum, bisa dikemas dengan berbagai kegiatan yang melibatkan pengunjung, seperti pengunjung... more »
  • 15-05-15

    ‘Sang Nata’ Memaduka

    Sang Nata merupakan lakon ketoprak yang diadaptasi dari naskah ‘Oedipus’ karya Sophocles, yang biasa dipentaskan sebagai pertunjukan teater. Sang... more »
  • 15-05-15

    Festival Printemps F

    Rutin diadakan setiap tahun, festival seni budaya Printemps Français memasuki tahun ke-11. Berbagai kolaborasi seni Indonesia dan Prancis akan... more »
  • 15-05-15

    Cipuk Sang Peragawat

    Sri Setyawati Mulyani atau akrab disapa Cipuk sebelumnya telah akrab dengan dunia keperagawatian atau model di Yogyakarta. Keputusannya menjadi... more »
  • 13-05-15

    Sensasi Steak Nyamle

    Tampilannya yang “kebul-kebul” dengan kuah kental plus irisan kentang goreng, kacang buncis, kembang kol, bawang bombay, dan irisan wortel... more »
  • 13-05-15

    Pesta Anak “Indonesi

    Galeri Nasional Indonesia yang bertempat di Gambir Jakarta Pusat bekerja sama dengan Yayasan SEIBUBANGSA (Seikat Bakti Untuk Bangsa) menggelar acara... more »
  • 13-05-15

    Merti Dusun dan Seni

    Merti dusun adalah salah satu tradisi ritual sebagai rasa syukur setelah panen. Tradisi ini sempat menghilang di Dusun Krapyak Wetan, Pundong, Bantul... more »
  • 12-05-15

    Pameran Retrospektif

    Galeri Nasional Indonesia bekerja sama dengan Sanggar Ligar Sari ’64 Bandung menggelar pameran “Pada Cermin I On Mirror” pada 30 April – 12 Mei 2015... more »
  • 12-05-15

    Pameran Gerakan Komi

    Sebanyak 24 komikus dari Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Malang, Surabaya membawa karyanya untuk dipamerkan dalam rangkaian acara 10 Tahun... more »
  • 12-05-15

    Indahnya merekam dal

    Larik puitis ini bukan dalam acara pembacaan puisi namun pameran fotografi Unit Fotografi (UFO) Universitas Gadjah Mada (UGM). Dengan tema ‘Merekam... more »